#TipisTipis

Selalu Ada yang Lebih Sedih dari Kesedihanmu Saat Ini

Patmo ID
3 min readAug 6, 2021
ilustrasi (pexels)

PATMO.id — Di masa ini, kita semua sering menerima kabar sedih dan duka. Sesedih apa pun situasi yang sedang kau alami, saya cuma ingin meyakinkanmu, pasti ada yang lebih sedih darimu.

Anak yang ditinggal ayahnya, orang tua yang ketakutan saat anaknya kritis di rumah sakit, kehilangan pekerjaan, adalah sebagian kecil bentuk kesedihan-kesedihan itu.

Pekan lalu, saya menerima kabar duka itu secara berurutan.

Pagi menjelang berangkat kerja, Ibu telepon. Dia kabarkan, kakak sepupunya berpulang dini hari tadi. Ibu sangat akrab dengannya. Suara beliau terdengar parau. Beberapa kalimatnya tidak terdengar utuh. Percakapan itu didominasi tangis ibu saya.

Tidak banyak yang bisa saya katakan. Saya hanya bisa merespons kabar dari ibu itu dengan salat gaib untuk mendiang Pakdhe saya.

Jam tujuh pagi belum genap, pesan WhatsApp dari teman yang jarang chat masuk ke ponsel saya. Dia kabarkan bahwa istrinya masuk ICU sejak Subuh di RS Malang. Buru-buru saya telpon, tapi tidak diangkat.

Satu jam kemudian, dia jelaskan semuanya dalam satu chat yang cukup panjang.

Istrinya adalah sahabat saya di kampus. Awal Juli lalu sahabat saya itu mengabarkan, dia sedang dirawat di rumah sakit karena terinfeksi Covid-19. Saya cukup panik, karena dia sedang hamil tujuh bulan. Pagi itu suaminya mengabarkan, kondisi istrinya itu memburuk sejak kemarin dan dokter memutuskan merawatnya di ICU.

Pada kasus ini, saya juga tidak punya banyak kata yang bisa diucapkan. Dari jarak sejauh ini, yang bisa saya lakukan hanya menambahkan namanya dalam doa-doa yang saya panjatkan.

Dua jam berselang, satu lagi whatsapp yang masuk. Adik saya. Dia kabarkan, restoran tempat dia bekerja kolaps dan memutuskan menutup usaha. Siang itu juga adik saya jadi pengangguran. Dia meminta saran, bagaimana cara mengabarkan itu kepada Ibu.

Saya diam cukup lama. Tidak yakin, apakah saya sedang menyusun sejumlah kata yang berhamburan di kepala setelah dua kabar sebelumnya, atau hanya menunggu datangnya kalimat jadi untuk menjawab pertanyaan adik saya.

“Okee, nanti sore saya ke kosmu,” hanya itu balasan yang bisa saya kirim.

Sebenarnya saya lebih khawatir kondisi adik saya yang sedang kehilangan pekerjaan di tengah situasi seperti ini. Adik saya malah bingung mencari cara memberi tahu Ibu.

Sore itu saya ke kosnya bawa lalapan ayam. Barangkali adik saya belum makan. Sudah makan pun, akan tetap dia lahap makanan itu karena saya tahu itu makanan kesukaannya. Kedua, adik saya tergolong makhluk pemakan segala yang sedikit-sedikit lapar.

“Ibu pasti ngerti,” kata saya sambil melihat nasi dan ayam penuh sambal masuk ke mulutnya.

Setelah dia telan sekepal nasi yang dia masukkan ke mulutnya dengan sembrono itu, dia bilang, “ditunda aja gimana ngasih taunya? Saya cuma kehilangan pekerjaan. Ibu kehilangan Pakdhe. Nanti malah kepikiran.”

“Oke. Tapi karena tetap harus bilang, kita pikirin cara ngomongnya,” usul saya. “Iya, Kak,” katanya sambil menelan kol, kemangi, dan tempe bersamaan.

Hari ini, sudah delapan hari dari kejadian-kejadian itu. Dari adik saya, saya belajar bahwa beberapa kata perlu disembunyikan agar tidak menambah kesedihan orang lain.

Dia bahkan kurang peduli dengan status barunya sebagai pengangguran. Dan sesedih apapun hari yang sedang kau alami, selalu ada yang lebih sedih lagi. Saya tidak perlu menceritakan kesedihan saya, karena itu sudah tidak penting lagi.

Hamim Arifin — Masih Jurnalis dan Penulis, sekaligus Satgas Covid-19 di Suara Surabaya Media

--

--

Patmo ID
Patmo ID

Written by Patmo ID

surabaya alternative platform. maido, ngaso, ngaplo.

No responses yet